“PESAN AYAH UNTUK AISYAH”
“Aisy”,panggil seorang ayah kepada putri sulungnya. Putri dari tiga bersaudara itupun menyahut panggilan ayahnya. “Ya, ayah. Aisyah mau selesai kok”, sahut gadis berusia 15tahun itu sambil membereskan pot-pot yang telah ia isi dengan berbagai tanaman yang ia dapat dari bibinya. Sambil berlari menuju sang ayah. Ayahnya pun bekata ,”kamu lihat, sekarang sudah jam 15.45 cepat mandi! Lalu segera antarkan kue pesanan Bu Romlah keburu hujan nanti” perintah sang ayah yang akrab disapa Bapak Anam tersebut. Dengan sigap Aisyah segera berlari mengambil handuknya.
Pukul setengah lima, Aisyah siap berangkat memenuhi perintah sang ayah dengan mengendarai sepeda mini pemberian kakeknya sebagai hadiah karena ia menang lomba CCAI saat kelas 8 MTs. Aisyah melaksanakannnya dengan senang hati, ia paling tidak berani kalau orang tuanya sedang berbicara namun ia menyela atau bahkan membantahnya.
Aisyah sekarang sedang mengenyam bangku pendidikan akhir di salah satu MTs tempat ia tinggal. Seorang adik laki-lakinya yang bernama Hisyam sedang mondok di daerah Tuban dengan ndherek di dalem sambil menuntut ilmu umum di MTs kelas VII. Adik terkecilnya Fatimah masih hendak menduduki bangku sekolah dasar beberapa bulan lagi setelah Aisyah duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ayah dan ibu Aisyah menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang kala sore itu. “Bu, bagaimana tentang kelanjutan pendidikan Aisyah? Mau disekolahkan dimana? Tanya laki-laki berusia 40 tahunan itu. “ iya yah, ibu juga masih bingung tapi ibu inginnya Aisy sekolah di SMADA atau MAN yang terletak di kota. Dia termasuk anak yang pandai yah”, jawab seorang ibu dengan sapaan Ibu Rina tersebut. “ Ayah inginnya juga begitu, tapi keuangan. . .”belum sempat sang ayah melanjutkan pendapatnya. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara si putri bungsunya, ”Assalamu’alaikum”, tukas Fatimah dengan wajah ceria setelah pulang dari TPA diikuti Aisyah yang menjemputnya. “ Eh, adek sudah pulang. Nampaknya adek bahagia sekali? Tanya sang ibu yang tampak heran dengan tingkah Fatimah. “ ya ibu, bagaimana Fatim tidak senang. Fatim kan mau disekolahkan di SDI. Ya kan yah,” perkataan yang keluar dari bibir mungil Fatimah sontak membuat orang tuanya kaget.
“ Fatim, sekarang mandi dulu ya biar wangi, Aisy sini nak ibu dan ayah mau bicara,” perintah Ibu Rina kepada putri- putrinya. Aisyah pun mendekat dan Fatimah bergegas ke menuju ke kamar mandi. “ Aisy, kan sekarang sudah mau ujian kelulusan. Aisyah belajarlah yang rajin,ibu dan ayah berharap Aisy mendapat hasil yang maksimal” ucap sang ibu dengan nada lemah lembut. “ Iya bu, Aamiin... Insya Allah Aisya akan berusaha semaksimal mungkin. Ibu dan ayah tolong do’akan ya.” Tutur Aisyah penuh harap. “iya nak, orang tua selalu mendo’akan yang terbaik bagi anaknya. Oh, ya Aisy bagaimana tentang kelanjutan studimu? Tanya sang ibu kepada putrinya yang hobi main skipping itu. “ saya menurut ibu dan ayah saja “ kata Aisyah menjawab pertanyaan ibunya. “ iya sudah Aisy, ayo siap- siap sholat. Yah, sudah jam setengah 6 ndak ke masjid?” tanya ibu kepada pak Anam yang sejak tadi bergelut dengan kitab- kitabnya lalu menjawab “ lo, cepat sekali ya bu. Perasaan baru saja ayah duduk. Ya sudah tak kekamar mandi sulu. Samean tolong ambilkan kopiah bapak”.
Sebenarnya Aisyah ingin sekali bersekolah di SMADA karena disana ada suatu pengajaran yang berbeda dengan sekolah- sekolah yaitu dengan mempergunakan bahasa Inggris untuk bahasa percakapan sehari- hari. Akan tetapi ia tak tega menyampaikan angan yang terpendam sejak lama itu. Ia tak ingin menambah beban orang tuanya.
Habis sholat maghrib Aisyah dan adiknya mengaji hingga menjelaangshoalt isya’. Ayahnya akan pulang sekitar pukul 8 malam. Bapak Anam biasanya nderes di masjid atau kadang saking lelahnya beliau beristirahat saja setelah seharian bertani sambil menunggu waktu sholat isya’.
Setelah Aisyah sholat bersama ibu dan adiknya. Ia belajar hingga malam larut.namun terkadang ketika diintip oleh sang ibu ia sudah telelap dan buku masih terbuka di sisi kepalanya. Ibunya akan merebahkan badannya bilamana putrinya itu telah terlelap.
Pukul 2.30 Aisyah beserta orang tuanya terjaga dari tidurya dan melaksanakan qiyamul lail. Ini merupakan agenda harian yang wajib dilaksanakan keluarga ini. Ketika jarum pendek menuju angka 4 sang ayah pergi ke masjid. Tinggallah Aisyah dengan ibunya bersiap- siap untuk mendirikan sholat shubuh. Ibu Rina turun dari tempat sholat lebih dulu lau membangunkan Fatimah agar melaksanakan sholat shubuh lalu memasak makanan untu sarapan. Setelah pukul 5 Aisyah pun turun dari tempat sholat lalu menyiapkan pelengkapan sekolahnya. Pukul 6 lebih 40 menit Aisyah sudah siap dengan sepedanya hendak berangkat sekolah setelah sarapan oagi dan berpamitan kepada orang tua serta adiknya.
Jarak sekolah Aisyah sekitar 5 km dari rumahnya. Ia pun harus mengayuh sepeda lebih cepat bila tidak ingin berdiri di tengah lapangan basket untuk yangke sekian kalinya. Pukul 2 siang ia akan berlelah- lelah ria bersama kawan- kawannya pulang dengan sepeda mereka masing- masing. Pada waktu sebelum dimulai pembelajaran, diberitahukan oleh gurunya bahwa Ujian Akhir Sekolah akan dimulai dua bulan lagi. Mulai saat itu Aisyah pun lebih giat belajar.
Tepat hari senin pagi ujian akhir sekolah dimulai. Dengan penuh kepercayaanpad diri sendiri pengerjaan soal ujian dihadapi Aisya serta tak lupa memanjatkan do’a kepada Allah SWT..
Tiga minggu kemudian hasil ujian pun diumumkan. Dan Aisyah dinyatakan telah lulus. Ketika diadakan perpishan di sekolahnya Aisyah dipanggil ke panggung untuk menerima trofi karena ia mendapat juara 2 di sekolahannya. Orang tuanya pun semakin berbangga hati karenanya.
Dengan keputusan yang cukup matang, orang tua Aisyah menyekolahkannya di suatu Yayasan Pendidikan Islam di Pare. Disini anak yang terbilang pandai akan mendapatkan pendidikan gratis tanpa ditarik biaya sepeser pun untuk pendidikan di jenjang Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah. Meskipun sekolahnya masih tergolong swasta namun telah ada alumni dari MA tersebut yang pernah mengikuti lomba tingkat se-Asia Tenggara. Aisyah akan menimba ilmu ilmu umum dan agama di yayasan ini. Lingkungan pondok telah diangan- angan oleh Aisyah sejak ia lulus dari SD dulu.
Hari yang begitu cerah bagi Aisyah pun tiba, tepatnya hari senin. Hari pertama bagi Aisyah dengan semangat barunya untuk bersekolah di MA yang berjarak sekitar 18 km dari tempat keluarganya bernaung. “ Semoga berkah Ya Allah, Bismillahirrahmanirrahiim.” Gumam Aisyah dalam hatinya.
Setelah menjalani serangkaian kegiatan MOS, ia sudah cukup beradaptasi dengan keadaan sekolahnya. Ia berniat mengikuti ekstrakurikuler PMR di sekolahnya. Tiap hari sebelum berangkat menuntut ilmu, Aisyah mendirikan sholat dluha terlebih dahulu berharap Allah memberkahinya. Tak ubahnya seperti teman-temannya hari libur sekolah dan mengaji adalah saat yang cukup disenanginya. Meskipun pondok dan MA nya adalah satu yayasan, namun berjarak 1 km diantara keduanya.
Pernah ketika hari kamis kala itu, ketika gerbang MA telah ditutup Aisyah baru tiba di sekolah. Ada 2 siswi dan beberapa siswa lainnya yang juga akan menemani Aisyah menjalani hukuman nantinya. Aisyah serta murid- murid lain yang terlambat, disuruh membentuk barisan di tengahlapangan. Sekitar 25 menit, guru piket yang menghukumnya hari itu menyudahi hukuman bagi mereka. Namun belum kapoknya Aisyah untuk dihukum, dua minggu kemudian ia terlambat lagi dan disuruh membersihkan rumput dan mengangkatnya untuk dibuang ke tempat sampah serta membersihkan dalem.
Satu tahun berlalu, setelah Aisyah memutuskan untuk menjadikan kota Pare sebagai naungan ilmunya. Kini ia telah duduk di bangku kelas XI. Dua trofi telah ia sumbangkan bagi sekolahnya. Ada suatu pengalaman yang membuat Aisyah sebal saat kelas XI dengan jurusan IPA itu. Aisyah sedang duduk sendiri di depan kelas. Ia diminta keluar oleh gurunya. Bukan karena ia sedang menjalani hukuman tapi tersebab ia tak harus menjalani remidi suatu pelajaran eksak. Fahri ,siswa kelas XII berturut-turut menyindirnya karena Aisyah yang berada di luar kelas kala itu seperti sedang dikeluarkan oleh gurunya. Aisyah yang terus-terusan disindir hanya terdiam lalu memilih masuk ke kelas dengan izin sang guru. Begitulah Aisyah, ia paling tidak senang bilamana ada laki-laki di dekatnya untuk urusan yang tidak penting.
Menginjak tahun ketiga Aisyah di MA ia ditunjuk sebagai perwakilan sekolah dalam acara “Science of The Week” di Malang.namun duka datang menyelinap di kehidupannya. Ayahnya sedang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan bingung sedih bercampur jadi satu. Bagaimana ia tidak kalut, sebelum mengikuti lomba selam seminggu, ia pulangke desa untuk meminta do’a restu orang tuanya dan baru3 hari ia di Malang, dikabarkan padanya bahwa ayahnya sedang sakit keras. Setelah seminggu mengikuti lomba, sebelum kembali ke yayasan ia pamit kepada guru yang mengantarkan ia lomba untuk izin pulang. Meskipun dalam lomba kali ini, ia pulang belum membawa trofi, namun ia masuk peringkat 10 besar.
Setelah tiba di rumah sakit,ia mencium tangan ayahnya denagn sangat ia pun menitikkan air matanya kala melihat kondisi sang ayah. Ia senantiasa mendampingi ayahnya saat di rumah sakit. Seminggu lamanya ia rela izin meninggalkan kegiatan sekolahnya. Hingga ketika dalam balutan suasana pagi, hari jum’at ketika itu hanya Aisyah yang menunggui ayahnya. Ibu dan adik-adiknya pulang lebih dulu untuk memberi makan ayam dan sapi di rumah.sang ayah memanggilnya lau ia mendekat kepada ayahnya,” Aisy,kamu. .kamu ndak lihat ayah bahagia?”ucap pak Anam lemah. “iya ayah, Aisy ingin ayah dan ibu bahagia ” jawab Aisy dengan mata berkaca-kaca. “Ayah ingin Aisy kelak jadi orang sukses. Ayah sayang sekali sama Aisy,ibu,Fatim, dan Hisyam jaga mereka ya nak” tutur sang ayah dengan suara yangmakin melemah. Aisyah pun tak kuasa menahan airmatanya seraya berkata,” Insya Allah Ayah, Aisy sangat sayng ayah,ibu, dan adik-adik. Ayah Aisya seraya bersyahadat dengan nafasnya yang semakin terputu-putus. Tumpahan airmata Aisya semakin tak terbendung. Lau ia membisikkan dua kalimah syahadat bagi ayahnya. Hingga akhirnya sang ayah melafalkan syahadat untuk terakhir kalinya. Aisyah lemah tak berdaya tak sampai kuat ia berdiri. Dan suster yang membawa makan untuk sang ayah segera memberitahukan hal ini kepada dokter. Lalu Aisya bersama ayahnya pulang denganAmbulan. Ibu, fatimah, dan Hisyam menangis sejadi-jadinya. Bahkan Ibu Rina sempat pingsan berkali-kali.
Tujuh hari berselang setelah kepergian sang ayah tercinta. Aisyah kembali bersekolah. Telah dua minggu ia tidak mengenakan seragm sekolah.
Kini Aisyah telah duduk di kels XII IPA. Ia semakin giat belajar lagi karena ujian akhir sekolah telah di depan mata. Ia juga tak ingin mengecewakan sang ayah akan nasehat yang diberiakn kepadanya. Di pondok, Aisyah dilatih menghafadz Al-Qur’an. Ia ingin menjadi wanita yang cerdas lagi sholikhah seperti idolanya yaitu Siti Aisyah ra.
Hingga hari senin tiba untuk menjalani UAS. Sebelumnya seminggu yang lalu Aisyah telah pulang ke desa untuk menziarahi makam ayahnya dan meminta do’a restu ibunya.
Sujud syukur ia lakukan karena kelulusan telah ada di genggamannya setelah tiga minggu lamanya menunggu hasil tersebut. Guru di pondoknya menyarankan untuk mengikuti tes akan beasiswa kuliah di Turki. Sambil menunggu hasilnya ia kembali ke desa membantu sang ibu. Hampir dua minggu setelah tes Aisyah laksanakan hasilnya pun diberikan. Ia lulus dan bulan depan ia akan berangkat ke universitas di Turki. Sang ibu dan adik-adiknya pun gembira mendengar kabar tersebut. Aisyah pun berpamitan kepada keluarganya.
Empat tahun Aisyah menimba ilmu di Mesir, ia ditempatkan sebagi guru di salah satu MAN di kota tempat ia tinggal. Ia pun sekarang menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Kini Hisyamsedang kuliah di Kairo dengan perantara beasiswa dan Fatimah duduk di bangku MTs Negeri di daerah Jombang.
Satu tahun Aisyah mengajar ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan seorang laki-laki pilihan pamannya. Seorang anak kyai dari daerah Jawa Tengah. Usaha Aisyah untuk melaksanakan dawuh ayahnya semakin nampak. Ia selalu berdo’a dan memanjatkan syukur kepasa Sang Maha Kuasa atas segala karunia yang Allah anugerahkan bagi hamba-hamba-Nya yang sabar dan berusaha.
“Aisy”,panggil seorang ayah kepada putri sulungnya. Putri dari tiga bersaudara itupun menyahut panggilan ayahnya. “Ya, ayah. Aisyah mau selesai kok”, sahut gadis berusia 15tahun itu sambil membereskan pot-pot yang telah ia isi dengan berbagai tanaman yang ia dapat dari bibinya. Sambil berlari menuju sang ayah. Ayahnya pun bekata ,”kamu lihat, sekarang sudah jam 15.45 cepat mandi! Lalu segera antarkan kue pesanan Bu Romlah keburu hujan nanti” perintah sang ayah yang akrab disapa Bapak Anam tersebut. Dengan sigap Aisyah segera berlari mengambil handuknya.
Pukul setengah lima, Aisyah siap berangkat memenuhi perintah sang ayah dengan mengendarai sepeda mini pemberian kakeknya sebagai hadiah karena ia menang lomba CCAI saat kelas 8 MTs. Aisyah melaksanakannnya dengan senang hati, ia paling tidak berani kalau orang tuanya sedang berbicara namun ia menyela atau bahkan membantahnya.
Aisyah sekarang sedang mengenyam bangku pendidikan akhir di salah satu MTs tempat ia tinggal. Seorang adik laki-lakinya yang bernama Hisyam sedang mondok di daerah Tuban dengan ndherek di dalem sambil menuntut ilmu umum di MTs kelas VII. Adik terkecilnya Fatimah masih hendak menduduki bangku sekolah dasar beberapa bulan lagi setelah Aisyah duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ayah dan ibu Aisyah menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang kala sore itu. “Bu, bagaimana tentang kelanjutan pendidikan Aisyah? Mau disekolahkan dimana? Tanya laki-laki berusia 40 tahunan itu. “ iya yah, ibu juga masih bingung tapi ibu inginnya Aisy sekolah di SMADA atau MAN yang terletak di kota. Dia termasuk anak yang pandai yah”, jawab seorang ibu dengan sapaan Ibu Rina tersebut. “ Ayah inginnya juga begitu, tapi keuangan. . .”belum sempat sang ayah melanjutkan pendapatnya. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara si putri bungsunya, ”Assalamu’alaikum”, tukas Fatimah dengan wajah ceria setelah pulang dari TPA diikuti Aisyah yang menjemputnya. “ Eh, adek sudah pulang. Nampaknya adek bahagia sekali? Tanya sang ibu yang tampak heran dengan tingkah Fatimah. “ ya ibu, bagaimana Fatim tidak senang. Fatim kan mau disekolahkan di SDI. Ya kan yah,” perkataan yang keluar dari bibir mungil Fatimah sontak membuat orang tuanya kaget.
“ Fatim, sekarang mandi dulu ya biar wangi, Aisy sini nak ibu dan ayah mau bicara,” perintah Ibu Rina kepada putri- putrinya. Aisyah pun mendekat dan Fatimah bergegas ke menuju ke kamar mandi. “ Aisy, kan sekarang sudah mau ujian kelulusan. Aisyah belajarlah yang rajin,ibu dan ayah berharap Aisy mendapat hasil yang maksimal” ucap sang ibu dengan nada lemah lembut. “ Iya bu, Aamiin... Insya Allah Aisya akan berusaha semaksimal mungkin. Ibu dan ayah tolong do’akan ya.” Tutur Aisyah penuh harap. “iya nak, orang tua selalu mendo’akan yang terbaik bagi anaknya. Oh, ya Aisy bagaimana tentang kelanjutan studimu? Tanya sang ibu kepada putrinya yang hobi main skipping itu. “ saya menurut ibu dan ayah saja “ kata Aisyah menjawab pertanyaan ibunya. “ iya sudah Aisy, ayo siap- siap sholat. Yah, sudah jam setengah 6 ndak ke masjid?” tanya ibu kepada pak Anam yang sejak tadi bergelut dengan kitab- kitabnya lalu menjawab “ lo, cepat sekali ya bu. Perasaan baru saja ayah duduk. Ya sudah tak kekamar mandi sulu. Samean tolong ambilkan kopiah bapak”.
Sebenarnya Aisyah ingin sekali bersekolah di SMADA karena disana ada suatu pengajaran yang berbeda dengan sekolah- sekolah yaitu dengan mempergunakan bahasa Inggris untuk bahasa percakapan sehari- hari. Akan tetapi ia tak tega menyampaikan angan yang terpendam sejak lama itu. Ia tak ingin menambah beban orang tuanya.
Habis sholat maghrib Aisyah dan adiknya mengaji hingga menjelaangshoalt isya’. Ayahnya akan pulang sekitar pukul 8 malam. Bapak Anam biasanya nderes di masjid atau kadang saking lelahnya beliau beristirahat saja setelah seharian bertani sambil menunggu waktu sholat isya’.
Setelah Aisyah sholat bersama ibu dan adiknya. Ia belajar hingga malam larut.namun terkadang ketika diintip oleh sang ibu ia sudah telelap dan buku masih terbuka di sisi kepalanya. Ibunya akan merebahkan badannya bilamana putrinya itu telah terlelap.
Pukul 2.30 Aisyah beserta orang tuanya terjaga dari tidurya dan melaksanakan qiyamul lail. Ini merupakan agenda harian yang wajib dilaksanakan keluarga ini. Ketika jarum pendek menuju angka 4 sang ayah pergi ke masjid. Tinggallah Aisyah dengan ibunya bersiap- siap untuk mendirikan sholat shubuh. Ibu Rina turun dari tempat sholat lebih dulu lau membangunkan Fatimah agar melaksanakan sholat shubuh lalu memasak makanan untu sarapan. Setelah pukul 5 Aisyah pun turun dari tempat sholat lalu menyiapkan pelengkapan sekolahnya. Pukul 6 lebih 40 menit Aisyah sudah siap dengan sepedanya hendak berangkat sekolah setelah sarapan oagi dan berpamitan kepada orang tua serta adiknya.
Jarak sekolah Aisyah sekitar 5 km dari rumahnya. Ia pun harus mengayuh sepeda lebih cepat bila tidak ingin berdiri di tengah lapangan basket untuk yangke sekian kalinya. Pukul 2 siang ia akan berlelah- lelah ria bersama kawan- kawannya pulang dengan sepeda mereka masing- masing. Pada waktu sebelum dimulai pembelajaran, diberitahukan oleh gurunya bahwa Ujian Akhir Sekolah akan dimulai dua bulan lagi. Mulai saat itu Aisyah pun lebih giat belajar.
Tepat hari senin pagi ujian akhir sekolah dimulai. Dengan penuh kepercayaanpad diri sendiri pengerjaan soal ujian dihadapi Aisya serta tak lupa memanjatkan do’a kepada Allah SWT..
Tiga minggu kemudian hasil ujian pun diumumkan. Dan Aisyah dinyatakan telah lulus. Ketika diadakan perpishan di sekolahnya Aisyah dipanggil ke panggung untuk menerima trofi karena ia mendapat juara 2 di sekolahannya. Orang tuanya pun semakin berbangga hati karenanya.
Dengan keputusan yang cukup matang, orang tua Aisyah menyekolahkannya di suatu Yayasan Pendidikan Islam di Pare. Disini anak yang terbilang pandai akan mendapatkan pendidikan gratis tanpa ditarik biaya sepeser pun untuk pendidikan di jenjang Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah. Meskipun sekolahnya masih tergolong swasta namun telah ada alumni dari MA tersebut yang pernah mengikuti lomba tingkat se-Asia Tenggara. Aisyah akan menimba ilmu ilmu umum dan agama di yayasan ini. Lingkungan pondok telah diangan- angan oleh Aisyah sejak ia lulus dari SD dulu.
Hari yang begitu cerah bagi Aisyah pun tiba, tepatnya hari senin. Hari pertama bagi Aisyah dengan semangat barunya untuk bersekolah di MA yang berjarak sekitar 18 km dari tempat keluarganya bernaung. “ Semoga berkah Ya Allah, Bismillahirrahmanirrahiim.” Gumam Aisyah dalam hatinya.
Setelah menjalani serangkaian kegiatan MOS, ia sudah cukup beradaptasi dengan keadaan sekolahnya. Ia berniat mengikuti ekstrakurikuler PMR di sekolahnya. Tiap hari sebelum berangkat menuntut ilmu, Aisyah mendirikan sholat dluha terlebih dahulu berharap Allah memberkahinya. Tak ubahnya seperti teman-temannya hari libur sekolah dan mengaji adalah saat yang cukup disenanginya. Meskipun pondok dan MA nya adalah satu yayasan, namun berjarak 1 km diantara keduanya.
Pernah ketika hari kamis kala itu, ketika gerbang MA telah ditutup Aisyah baru tiba di sekolah. Ada 2 siswi dan beberapa siswa lainnya yang juga akan menemani Aisyah menjalani hukuman nantinya. Aisyah serta murid- murid lain yang terlambat, disuruh membentuk barisan di tengahlapangan. Sekitar 25 menit, guru piket yang menghukumnya hari itu menyudahi hukuman bagi mereka. Namun belum kapoknya Aisyah untuk dihukum, dua minggu kemudian ia terlambat lagi dan disuruh membersihkan rumput dan mengangkatnya untuk dibuang ke tempat sampah serta membersihkan dalem.
Satu tahun berlalu, setelah Aisyah memutuskan untuk menjadikan kota Pare sebagai naungan ilmunya. Kini ia telah duduk di bangku kelas XI. Dua trofi telah ia sumbangkan bagi sekolahnya. Ada suatu pengalaman yang membuat Aisyah sebal saat kelas XI dengan jurusan IPA itu. Aisyah sedang duduk sendiri di depan kelas. Ia diminta keluar oleh gurunya. Bukan karena ia sedang menjalani hukuman tapi tersebab ia tak harus menjalani remidi suatu pelajaran eksak. Fahri ,siswa kelas XII berturut-turut menyindirnya karena Aisyah yang berada di luar kelas kala itu seperti sedang dikeluarkan oleh gurunya. Aisyah yang terus-terusan disindir hanya terdiam lalu memilih masuk ke kelas dengan izin sang guru. Begitulah Aisyah, ia paling tidak senang bilamana ada laki-laki di dekatnya untuk urusan yang tidak penting.
Menginjak tahun ketiga Aisyah di MA ia ditunjuk sebagai perwakilan sekolah dalam acara “Science of The Week” di Malang.namun duka datang menyelinap di kehidupannya. Ayahnya sedang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan bingung sedih bercampur jadi satu. Bagaimana ia tidak kalut, sebelum mengikuti lomba selam seminggu, ia pulangke desa untuk meminta do’a restu orang tuanya dan baru3 hari ia di Malang, dikabarkan padanya bahwa ayahnya sedang sakit keras. Setelah seminggu mengikuti lomba, sebelum kembali ke yayasan ia pamit kepada guru yang mengantarkan ia lomba untuk izin pulang. Meskipun dalam lomba kali ini, ia pulang belum membawa trofi, namun ia masuk peringkat 10 besar.
Setelah tiba di rumah sakit,ia mencium tangan ayahnya denagn sangat ia pun menitikkan air matanya kala melihat kondisi sang ayah. Ia senantiasa mendampingi ayahnya saat di rumah sakit. Seminggu lamanya ia rela izin meninggalkan kegiatan sekolahnya. Hingga ketika dalam balutan suasana pagi, hari jum’at ketika itu hanya Aisyah yang menunggui ayahnya. Ibu dan adik-adiknya pulang lebih dulu untuk memberi makan ayam dan sapi di rumah.sang ayah memanggilnya lau ia mendekat kepada ayahnya,” Aisy,kamu. .kamu ndak lihat ayah bahagia?”ucap pak Anam lemah. “iya ayah, Aisy ingin ayah dan ibu bahagia ” jawab Aisy dengan mata berkaca-kaca. “Ayah ingin Aisy kelak jadi orang sukses. Ayah sayang sekali sama Aisy,ibu,Fatim, dan Hisyam jaga mereka ya nak” tutur sang ayah dengan suara yangmakin melemah. Aisyah pun tak kuasa menahan airmatanya seraya berkata,” Insya Allah Ayah, Aisy sangat sayng ayah,ibu, dan adik-adik. Ayah Aisya seraya bersyahadat dengan nafasnya yang semakin terputu-putus. Tumpahan airmata Aisya semakin tak terbendung. Lau ia membisikkan dua kalimah syahadat bagi ayahnya. Hingga akhirnya sang ayah melafalkan syahadat untuk terakhir kalinya. Aisyah lemah tak berdaya tak sampai kuat ia berdiri. Dan suster yang membawa makan untuk sang ayah segera memberitahukan hal ini kepada dokter. Lalu Aisya bersama ayahnya pulang denganAmbulan. Ibu, fatimah, dan Hisyam menangis sejadi-jadinya. Bahkan Ibu Rina sempat pingsan berkali-kali.
Tujuh hari berselang setelah kepergian sang ayah tercinta. Aisyah kembali bersekolah. Telah dua minggu ia tidak mengenakan seragm sekolah.
Kini Aisyah telah duduk di kels XII IPA. Ia semakin giat belajar lagi karena ujian akhir sekolah telah di depan mata. Ia juga tak ingin mengecewakan sang ayah akan nasehat yang diberiakn kepadanya. Di pondok, Aisyah dilatih menghafadz Al-Qur’an. Ia ingin menjadi wanita yang cerdas lagi sholikhah seperti idolanya yaitu Siti Aisyah ra.
Hingga hari senin tiba untuk menjalani UAS. Sebelumnya seminggu yang lalu Aisyah telah pulang ke desa untuk menziarahi makam ayahnya dan meminta do’a restu ibunya.
Sujud syukur ia lakukan karena kelulusan telah ada di genggamannya setelah tiga minggu lamanya menunggu hasil tersebut. Guru di pondoknya menyarankan untuk mengikuti tes akan beasiswa kuliah di Turki. Sambil menunggu hasilnya ia kembali ke desa membantu sang ibu. Hampir dua minggu setelah tes Aisyah laksanakan hasilnya pun diberikan. Ia lulus dan bulan depan ia akan berangkat ke universitas di Turki. Sang ibu dan adik-adiknya pun gembira mendengar kabar tersebut. Aisyah pun berpamitan kepada keluarganya.
Empat tahun Aisyah menimba ilmu di Mesir, ia ditempatkan sebagi guru di salah satu MAN di kota tempat ia tinggal. Ia pun sekarang menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Kini Hisyamsedang kuliah di Kairo dengan perantara beasiswa dan Fatimah duduk di bangku MTs Negeri di daerah Jombang.
Satu tahun Aisyah mengajar ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan seorang laki-laki pilihan pamannya. Seorang anak kyai dari daerah Jawa Tengah. Usaha Aisyah untuk melaksanakan dawuh ayahnya semakin nampak. Ia selalu berdo’a dan memanjatkan syukur kepasa Sang Maha Kuasa atas segala karunia yang Allah anugerahkan bagi hamba-hamba-Nya yang sabar dan berusaha.
( Dewi Masulah/ XI-IPA 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar